Sabtu, 01 Januari 2011

Lubang Hitam Sekolah Formal

:: sebagai bahan renungan, terutama untuk para guru ::

Judul Dunia Tanpa Sekolah
Penulis M. Izza Ahsin
Penerbit Read! (Kelompok Mizan Bandung)
Cetakan I April 2007
Jumlah Hlm 248 halaman

Pendidikan seringkali menjadi jawaban, ketika ada pertanyaan: strategi apa yang akan kita gunakan dalam melakukan ijtihad perubahan? Lewat pendidikan suatu perubahan akan digagas. Tapi, bagaimana perubahan itu akan dimulai jika ternyata pendidikan itu sendiri menjadi sesuatu yang harus dirombak?

Beragam wacana deschooling (tanpa sekolah) mengemuka. Buah dari lentur lunturnya sekolah—dianggap sebagai satu-satunya institusi pendidikan—yang memunyai kesaktian mencerdaskan. Berbagai istilah mencuat ke permukaan: Sekolah Kapitalisme yang Licik; Sekolah itu Candu; Macdonalisasi Pendidikan; Sekolah Saja tidak Cukup, Emoh Sekolah, Orang Miskin dilarang Sekolah, Selamat Tinggal Sekolah, Pendidikan Kaum Tertindas, dan terakhir, resensi yang tengah Anda eja: Dunia Tanpa Sekolah.

Berbeda dengan buku-buku bertema deschooling sebelumnya—ditulis oleh mereka yang tergolong dewasa, tua, pakar pendidikan, berisi segala sesuatu yang bersifat konsep teoritik-akademik, menyajikan praktik home schooling sebagai sesuatu yang sudah jadi—buku ini ditulis oleh seorang anak usia 15 tahun, pelaku home schooling. Berisi rekaman jejak perjalanan dari awal mencecap bangku sekolah, proses penemuan kesadaran bahwa pembelajaran itu ternyata sepanjang hayat bukan hanya sembilan tahun. Dan gong-nya adalah berlarik-larik tulisan tentang kisah perdebatan penulisnya dengan kedua orangtuanya, ketika meminta izin untuk keluar dari sekolah formal.

Hampir saja bahtera keluarga itu rekah terbelah karena perdebatan yang tak kunjung berkesudahan. Semuanya ditulis dengan gaya personal. Memudahkan pembaca untuk masuk, terlibat, terbawa ke dalam segala bentuk kemarahan, kemasgulan, kenelangsaan, sekaligus keceriaan dan kegilaan yang didedahkan penulisnya. Seperti yang tertulis di lembar ke empat puluh delapan dan kaver belakang buku:

“Sindrom sekolah mengalir ke seluruh peredaran darah dan menekan otakku. Merampok kebahagiaanku. Aku semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghacur mental. Guru yang mempermalukan murid di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat mengajar, melainkan sebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.”


Tentu saja keputusan Izza untuk keluar sekolah formal dan menciptakan sekolahnya sendiri menuai riuh rasa keberatan. Jelas tindakan itu tergolong melawan arus, subversif! Tentangan dan tantangan datang terutama dari dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon, sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa.

Muhammad Izza Ahsin Sidqi, penulis buku ini, lahir pada 9 Maret 1991 di Salatiga. Sebuah kota kecil yang sejuk dan nyaman. Ayahnya, Drs. Mahfud guru Madrasah Aliyah, yang juga menjadi salah satu pendiri sekolah plus di Salatiga. Ia tergolong guru ”pemberontak” yang tidak puas dengan sistem pendidikan saat ini. Mendalami konsep pendidikan yang membebaskan.

Sedangkan ibunya, Siti Badriyatul Ahyani dikenal sebagai guru Taman Kanak-Kanak yang cerdas. Seorang sarjana pendidikan yang berulang kali memenangi lomba guru berprestasi tingkat nasional. Bahkan pernah hadir sebagai salah satu guru terpilih di Istana Negara dan menyalami presiden saat itu (Ibu Megawati).

Perjuangan Izza keluar dari sekolah dimulai dari meminta persetujuan kedua orangtuanya yang tergolong ”tercerahkan” itu. Tapi rupanya revolusioner dalam berfikir ternyata bukan jaminan revolusioner pula dalam bertindak. Si ayah marah. Marah se-marah-marahnya. Marah yang telah melampaui batas kewajaran. Marah karena anak pertamanya ingin keluar dari sekolah. Padahal, Izza keluar dari lembaga yang baru saja ia prihatinkan dan ragukan bisa membawa setiap siswanya menuju keberhasilan hidup. Ironi!

Permintaan keluar dari sekolah formal dijawab dengan larangan berkeinginan tidak akan bersekolah formal. Dan diminta agar menjalani hidup layaknya air mengalir. Harapanya berhasil dalam sekolah sekaligus menulis. Menyatakan diri tidak mau sekolah sama saja dengan ingin menanggung malu. Orang akan menganggap sombong, nakal, dan tak tahu diri! Tentu saja wejangan itu mental membentur tembok tebal keyakinan Izza. “Peperangan” antara anak beranak itu berakhir dengan kata yang meluncur dari mulut ayahnya, menikam sisi sensitif emosi Izza: ”Kalau kamu tidak bisa, ya, pergi saja! Jangan pernah kembali ke rumah ini!” (hal 30).

Jawaban yang diterima dari Ibunya pun bak pinang tak berbelah. Hingga memampukan Izza tega menorehkan tulisan getir nan satir seperti ini:

”Lomba guru berprestasi merupakan wujud nyata dari kepandaian ibuku dalam memahami anak. Tetapi kenapa ibu tidak bisa mengerti keinginanku untuk keluar dari pendidikan formal? Kenapa ibu menganggapku terlalu mengagungkan kemampuan menulis? Padahal, hal-hal seperti itu dianggap lazim dalam makalah-makalahnya. Apakah makalahnya itu dibuatnya tanpa pendalaman dan hanya memindahkan bahan-bahan dari buku-buku seperti Quantum, baik Learning maupun Teaching, Accelerated Learning, dan Delapan Kecerdasannya Howard Gardner, atau Humanisasi Pendidikan Freire yang biasa ibu praktikkan ke anak didiknya? Mengapa tidak langsung dipraktikkan kepada anaknya sendiri yang ingin belajar secara menyenangkan? (hal 36).

Keputusannya berhenti sekolah, tepat ketika ujian akhir kelulusan SMP hanya tinggal dua minggu, dan bercita-cita hanya menjadi penulis, menyebabkan ia dianggap sebagai remaja radikal, sekaligus aneh dan langka. Fenomenanya telah diliput beberapa surat kabar: Cempaka, Jawa Pos, Radar Semarang, Academia, Solo Pos, dan Seputar Indonesia. Buku yang telah selesai saya selami ini adalah buku pertamanya. Rencana berikutnya, dia telah memiliki proyek serial novel fantasi. Lewat keterangan ayahnya dalam pagina Tentang Penulis (hal 248), Izza berseloroh:

“Ketika teman-temanku lulus dari perguruan tinggi dengan membawa ijazah ke sana kemari untuk mencari pekerjaan, insya Allah aku sudah menyelesaikan karya terbesarku, tanpa haru susuah payah berhadapan dengan buku-buku yang tidak aku minati dan dosen-dosen yang tidak bermutu. Aku bahkan tidak perlu menghabiskan biaya berjuta-juta.”

Rahasia keberhasilan Izza ”memenangi” dialog nilai dengan kedua orangtuanya adalah gizi terbaik yang ditawarkan buku ini. Dan tentu saja nilai guna gizi itu dapat lebih Anda rasakan ketika Anda memamahnya langsung dari bukunya.

Darasan buku yang tengah Anda baca ini merupakan bagian pertama dari tiga buku seri Read, Write, dan Imagine. Tiga lema yang selama ini memberikan penulisnya kesempatan untuk belajar apa saja. Muara dari ketiga entry itu adalah: cita-cita untuk menyumbangkan hidupnya bagi kepentingan kemanusiaan.

Sedangkan jilid kedua dan ketiga, akan membahas proses penulisan Baru Usaha Pertama untuk Mengenal Diri serta hal-hal yang mengitarinya. Seperti home schooling hingga sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah, Salatiga.

Menaklik Dunia Tanpa Sekolah, jadi teringat ucapan Sarwono Kusumaadmadja ketika menjadi pembicara kunci di perhelatan Wold Book Day akhir April 2007 lalu: sekolah bisa membuat orang berhasil. Tapi juga bisa membuat orang ”terbunuh.”

Selasa, 14 Desember 2010

Bercanda di Tengah Keluarga


Islam sangat memerhatikan tuntuan-tuntutan fitrah (karakter dasar manusia). Satu diantaranya adalah jiwa dengan berbagai kecenderungannya. Jiwa membutuhkan obat penawar kejenuhan, menghapus kepayahan, dan menggantinya dangan aktivitas yang menggembirakan.

Salah satu obat yang diperbolehkan dan dianjurkan Islam adalah istirahat sejenak dan bersenda gurau. Keduanya merupakan aktivitas yang menghibur. Salah satu manfaatnya adalah menyebarkan rasa cinta antara suami istri, ayah-ibu, dan diantara anak-anak, memperkuat ikatan-ikatan kasih sayang, dan mendatangkan kebahagiaan.

Rasulullah SAW menganjurkan para sahabatnya untuk bersenda gurau dan tertawa bersama istri dan anak-anak. Beramah tamah, bersikap lembut, dan mengalirkan kebahagiaan kepada mereka. Komunikasi dua arah antara suami-istri, orangtua-anak serta senda gurau antar keduanya oleh Nabi dijelaskan sebagai salah satu ukuran/pertanda hadirnya kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Jika tanda tersebut hilang segera usahakan agar pertanda tersebut hadir kembali.

Bercanda atau guyon sangat penting. Selain membuat suasana cair, juga bisa menyehatkan. Lantaran kita akan merasa bahagia. Soalnya kan tidak ada tawa sedih. Ya ada tentu saja tawa bahagia. Saling menggembirakan antar anggota keluarga dengan saling bercanda akan menciptakan suasana hangat, akrab, dan membahagiakan. Apalagi pada saat kita menggembirakan orang lain, kita akan menjadi pihak pertama yang merasakan kegembiraan itu. Lho kok bisa? Bisa saja, karena kalau kita tidak bahagia, bagaimana mungkin bisa menggembirakan orang lain? Kalau wajah nampak selalu berseri-seri, senantiasa memberikan senyuman, tidak cemberut, pasti anak-anak akan senantiasa betah berkarib-karib bersama kita.

Jika hati kita merasa gembira, meskipun menghadapi persoalan yang sulit, kita akan mudah menemukan jalan keluarnya. Rasul Muhammad Saw, manusia utama, teladan seluruh umat manusia telah memberi nasihat buat kita semua agar menggembirakan orang lain. Memperdengarkan berita-berita yang menggembirakan dan menghibur orang lain hingga perasaan sedihnya hilang.

Berikan kegembiraan kepada anak-anak bapak-ibu dengan menanyakan kabar mereka, tanyakan sedang ada masalah atau tidak barangkali ada yang bisa Anda bantu. Adalah penting memberikan motivasi kepada anak-anak untuk menggembirakan orang lain, khususnya pada teman-temannya.

Di antara petunjuk Rasulullah SAW untuk menciptakan kebahagiaan di rumahnya adalah tersenyum dan tertawa bersama keluarganya. Dari ‘Aisyah r.a., beliau pernah ditanya, Bagaimana keadaan Rasulullah SAW ketika ada di rumah? ‘Aisyah menjawab, “Ia selembut-lembut manusia; tersenyum dan tertawa.” Dalam senyum mengandung makna kasih sayang, memperindah perasaan, mencintai pertemuan, dan menghapus rasa sakit.

Rasulullah SAW menebarkan kebahagiaan di rumahnya dan memenuhi istri-istrinya dan anak-anak dengan kebahagiaan dan kesenangan dengan cara bersikap lemah lembut, tertawa, dan bersenda gurau dengan mereka.

Dari ‘Aisyah r.a, beliau berkata: “Rasulullah SAW datang dari perang Tabuk atau perang Hunain. Di rumah kecilku (yang berbentuk seperti lemari) memiliki tirai penutup. Tiba-tiba angin bertiup sehingga menyingkapkan sisi tirai penutup itu dari anak-anakan perempuanku (boneka mainan perempuan). Maka Rasulullah SAW bertanya: “Apa ini, wahai ‘Aisyah?” Aku menjawab: Boneka mainan perempuanku.

Rasulullah SAW melihat di antara boneka-boneka itu ada kuda yang memiliki dua sayap dari tambalan-tambalan. Nabi bertanya: “Apa yang ku lihat di tengahnya ini?” Kuda, jawabku.

“Apa yang ada di atasnya ini?” Rasulullah SAW kembali bertanya. Itu dua sayapnya, jawabku. “Kuda bersayap dua?” Tanya Rasulullah SAW (keheranan). Belum pernahkah engkau mendengar bahwa Sulaiman memiliki kuda yang bersayap banyak? Jawabku. Maka Rasulullah SAW tertawa sampai aku melihat gigi gerahamnya.”

Rasulullah SAW membiarkan gadis-gadis kecil bermain dengan ‘Aisyah. Beliau merasa senang melakukannya karena ‘Aisyah senang.  

Dari ‘Aisyah r.a. beliau berkata: Aku biasa bermain-main dengan boneka mainan perempuan di sisi Rasulullah SAW dan kawan-kawanku datang kepadaku. Kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka mainan tersebut karena takut kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasulullah SAW malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu. Lalu mereka bermain-main bersamaku.

Senda gurau juga dapat dilakukan saat makan bersama. Salah satu cara yang sangat dianjurkan bagi suami dan ayah muslim untuk menghibur istri dan anak-anaknya adalah berakrab dan berdekat-dekat saat makan bersama. Tidak pantas bagi istri, suami dan anak-anak untuk makan sendiri-sendiri. Sebab ini merupakan karakter para tuan Jahiliyah terhadap para pelayannya dan kebiasaan orang-orang yang bertengkar dan berselisih.

Meskipun begitu, guyon atau bercanda tetap memunyai aturannya sendiri.  Ada sejumlah adab atau aturan main yang dianjurkan oleh Islam ketika bercanda. Sehingga kelakar atau  candaan ini akan berbuah dan terlepas dari hal-hal yang negatif.

Tata cara itu meliputi: Gurauannya benar, tidak mengandung dusta. Tidak berlebihan. Sebab lelucon yang berlebihan akan mematikan hati, menambah kelalaian dari zikir (mengingat) Allah, mengurangi harga diri (martabat) seseorang. Canda yang tidak menyakiti, membuat sedih orang lain, menakutkan, meremehkan, mengolok-olok, mengejek, atau ghibah (bergosip, ngrasani) atau hal-hal yang merugikan orang lain.

Hiasilah diri Anda dengan petunjuk Nabi agar kebahagiaan menyelimuti rumah Anda. Bagi para orangtua harus menambah kuantitas senda gurau. Bukan berarti berlebih-lebihan. Tapi perlu diupayakan hingga mencapai titik optimal—dalam memerhatikan dan membahagiakan anak-anak.

Dengan cara mengambil waktu yang tepat dan situasi yang cocok, seperti pada saat memasak bersama, saat makan, dalam perjalanan. Orangtua harus harus memilih gurauan dan humor yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak.♥

Menjadi Ortu Berjiwa Guru

Judul Buku Parenting with Love, Panduan Islami Mendidik Anak Penuh Cinta dan Kasih Sayang
Penulis Maria Ulfah dan Abdullah Ghalib
Penerbit Mizania
Tebal 268 Halaman
Kategori Buku Panduan untuk Orangtua
Harga Rp45.000

Anak tidak saja perhiasan di dunia, tapi juga amanah Allah Swt. Karena amanah, apalagi yang memberikan amanah itu adalah Allah Swt., tentu merawat amanah itu sesuai dengan yang dikehendaki Allah Swt., menjadi kewajiban tiap orangtua. Bagaimana caranya agar kita, sebagai orangtua dapat menjalankan amanah tersebut dengan sabaik-baiknya?

Tidak ada cara lain adalah dengan mengikuti aturan yang telah ditentukan Allah Swt. Baik melalui ayat-ayat yang tersurat di kitab suci al-Qur’an maupun hadits. Buku ini, seluruhnya mengambil, dan mengikat ketentuan dan aturan Allah Swt., tersebut. Salah satunya adalah tiap orangtua harus memiliki jiwa pendidik. Jiwa sebagai guru. Guru kehidupan buat putra-putrinya. Meliputi apa saja sifat-sifat pendidik itu?

Beberapa diantaranya adalah harus penyabar, tidak gampang marah. Mudah memaklumi segala tindakan dan perilaku anak yang kurang sesuai dengan keinginan orangtua. Harus berlaku lemah lembut, tidak ringan tangan. Kekerasan/hukuman  fisik selalu dihindari. Lainnya? Tegas namun tidak kaku, bijaksana, moderat, dan jangan bosan-bosan memberikan nasihat kebaikan.

Bagaimana penjelasan dari semua sifat-sifat itu? Tentu akan lebih lengkap jika bapak-ibu langsung membaca buku ini.♥

Tips Agar Anak Senang Membaca

Mulailah dengan memberi  contoh dengan membaca sendiri dan menyediakan bahan bacaan di rumah kita sendiri walaupun tidak harus dengan membeli tetapi bisa meminjam di perpustakaan atau taman bacaan terdekat

Sediakan buku yang sesuai dengan perkembangan usia anak tidak hanya untuk dibacakan tetapi juga dipergunakan untuk bermain. Usia balita biasanya membutuhkan buku-buku yang merangsang penggunaan semua indera di tubuhnya Misalnya buku yang bisa dibawa bermain di air, buku sentuh dan raba

Dekatkan buku dengan anak, letakkan di sekitar tempat mereka sedang beraktivitas dan istirahat. Buku dalam jarak jangkauan menyebabkan anak tertarik untuk membuka dan menelusuri isi maupun bentuknya

Biasakan untuk membacakan cerita secara rutin untuk anak-anak meskipun mereka sudah bisa membaca sendiri. Kegiatan ini akan mendekatkan orang tua dengan anak serta merupakan waktu santai dimana anak dan orang tua saling bertukar pertanyaanmengenai kegiatan sehari-hari

Meminta anak-anak untuk memilih buku atau cerita yang hendak dibaca atau dibacakan. Biasanya anak-anak mempunyai cerita favorit yang tidak bosan dibaca berulang kali

Mendorong anak untuk membacakan cerita kepada orang tua atau teman karena ini akan mendorong peningkatkan kepercayaan diri anak

Menjadikan kegiatan membaca atau aktivitas mendapatkan informasi/bahan bacaan sebagai sebuah petualangan keluarga. Kegiatan ini akan mendorong perkembangan kreativitas anak dan orang tua serta secara tak sadar akan mengasosiasikan kegiatan membaca menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan

Mengajak anak untuk bersama-sama mencari informasi mengenai hal-hal yang tidak diketahui melalui buku atau bahan bacaan lain. Kebiasaan ini akan mendorong anak dan orang tua untuk tidak mengira-ngira jawaban serta mengembangkan kemampuan analisa atas informasi-informasi yang tersedia

Mengajak anak membuat sendiri bahan bacaannya sesuai dengan tingkat umur dan kreativitasnya

Memberikan hadiah/insentif berupa buku atau bahan bacaan lainnya


Selasa, 07 Desember 2010

Menyelenggarakan Sekolahnya Manusia

Oleh. Munif Chatib

Keberhasilan pendidikan Indonesia secara makro sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan menentukan bangunan kualitas pendidikan di negara tercinta ini. Singkatnya, apabila mikro sekolah tersebut unggul, dapat dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia, akan terdongkrak menjadi unggul pula.Menurut penulis, akan lebih baik apabila istilah ”sekolah unggul” diubah menjadi ”sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri. Indikator sekolah manusia adalah:

Character Building
Manusia hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan rohani. Dua dimensi itu selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi pendidikan terhadap dua dimensi tersebut tidak seimbang, terutama minim pada dimensi rohani, akan terjadi ”bencana akhlak”. Tidak ada lagi makhluk yang bernama kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, saling menghargai, dan lain-lain.Character building (CB) adalah bidang studi yang memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan CB sebagai bidang studi. Yang ada, materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah dalam bidang studi agama.

Agent of Change
Sekolah mestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya sudah luntur. Bahkan, sudah merasuk ke paradigma masyarakat bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa yang pandai dan baik-baik. Sekolah ”jeblok” adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa bodoh dan nakal-nakal atau anak buangan.Sekolah yang favorit atau unggul cenderung tidak menerima siswa-siswa yang bermasalah. Mereka lebih suka berendam pada ”zona nyaman” yaitu the best input. Pada saat penulis menerapkan sistem penerimaan siswa baru di sebuah sekolah tanpa tes masuk, namun tergantung pada jumlah kursi yang tersedia, kepala sekolahnya dengan tidak yakin bertanya, ”Bagaimana nanti kalau kita dapat murid bodoh-bodoh dan nakal-nakal.”Penulis menjawab, ”Bukan mestinya sebuah sekolah dibangun untuk memintarkan anak yang bodoh dan membaikkan anak yang nakal? Harus jadi agent of change!” Dengan menerapkan Multiple Intelligence Research kepada setiap siswa pada setiap tahun, ternyata tidak ada siswa yang bodoh. Setiap siswa mempunyai kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang beragam dan harus dihargai.

The Best Process
Konsekuensi agent of change adalah proses pembelajaran yang terjadi di sekolah itu harus terbaik. Pembelajaran yang masuk memori jangka panjang siswanya dan tidak akan lupa seumur hidup. Namun, kenyataannya, yang banyak adalah begitu guru menyelesaikan jam pelajaran, maka hilang juga ilmu yang diajarkan.Proses pembelajaran harus mengandung kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa.

The Best Teacher
Konsekuensi the best process adalah the best teacher. Kali ini kualitas guru yang dipertanyakan. Beberapa survei menunjukkan kualitas guru di Indonesia masih belum dikatakan baik.Guru yang baik berperan sebagai fasilitator. Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.

Guru yang baik berperan sebagai katalisator, yaitu terus berusaha memantik kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”lamban” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.

Applied Learning
Konten pembelajaran mulai jenjang sekolah dasar sampai seterusnya seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran jangan sampai dijadikan ”terpisah”, tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Minimal, peserta didik memahami manfaat materi pembelajaran.Yang banyak terjadi, banyak siswa tidak mamahami untuk apa sebuah materi diajarkan oleh guru. Dalam sebuah seminar guru yang dihadiri hampir 700 guru TK sampai SMA, penulis bertanya tentang materi ”pohon faktor”, hampir semua guru dapat menjawab semua soal, namun ketika ditanya untuk apa ”pohon faktor” itu, sebagian besar mereka tidak tahu.

Manajemen Sekolah
Dalam sebuah pelatihan manajemen sekolah yang khusus diikuti ratusan penyelenggara atau pemilik sekolah swasta seluruh Indonesia pada 2007, dapat disimpulkan betapa kurangnya pemahaman mereka terhadap manajemen sekolah yang baik. Padahal, manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan sumber manusia tingkat tinggi, sangat kompleks, dan dibutuhkan orang-orang yang profesional untuk mengelolanya.Penulis sering menganalogikan manajemen sekolah itu seperti seekor burung merpati putih yang mempunyai dua sayap dan terbang ke sebuah tujuan sangkar kehidupan yang mulia. Sayap pertama adalah context system, yaitu penyelenggara pendidikan, dan sayap kedua adalah content system, yaitu kepala sekolah dan guru.

Mana mungkin merpati itu akan terbang sampai tujuan apabila salah satu sayapnya patah dan tidak dapat bekerja sama. Namun, alangkah cantiknya kalau kepakan sayapnya harmonis. Insya Allah sekolah tersebut akan menjadi the best school dan membawa semua siswanya ke sebuah tujuan yang menjadikan lulusannya manusia yang mempunyai benefiditas dalam hidupnya. (*)

*). Munif Chatib, konsultan pendidikan, penulis buku Sekolahnya Manusia, dicuplik dari Jawa Pos (22/10/2009)

Rabu, 10 November 2010

Agar Marah tidak Meledak

:: agus m. irkham 
 --dicuplik dari salam news edisi oktover-november 2010--

Namanya anak-anak, tentu tidak selamanya mereka berlaku nice. Kadang ada saja aktivitas atau perilaku mereka yang membuat kita, sebagai orangtuanya tersulut amarah. Misalnya rengekan ingin segera dibuatkan minum. Atau tangisan lantaran permintaan tidak segera dipenuhi atau sebab lainnya. Pada saat marah mungkin merasa puas, tapi pasti bapak ibu akan menyesal ketika dalam kondisi normal (santai).

Jadi amarah sebenarnya hanya luapan emosi sesaat. Karena itu, kita harus betul-betul waspada terhadap 2-3 detik pertama saat akan marah.  Jika di waktu yang sangat pendek tersebut kita bisa mengendalikan emosi, maka kemarahan kita dapat dikendalikan. Sehingga akibat negatif akibat kemarahan (bisa berupa teriakan, pukulan, atau lemparan) tersebut dapat dikurangi.

Berikut adalah beberapa tips tentang bagaimana mengelola rasa marah sehingga tidak sampai meledak!

Jika saat marah dalam kondisi berdiri, segera duduk. Jika masih marah, segera tiduran. Jika tetap marah, segera ambil air wudhu. Jika hawa amarah masih memanas segera sholat mutlak dua rakaat.

Untuk sementara hindari sumber amarah, bisa dengan menyingkir sementara ke kamar, melakukan kegiatan fisik (menyapu, lari-lari, atau melompat-lompat ke atas).

Saat rasa amarah memuncak berusahalah untuk sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Karena bisa melukai perasaan anak-anak. Dan bapak ibu tidak menyadari—karena sedang emosi, kata-kata yang keluar dari mulut tidak terkontrol.

Hindari benda-benda yang dapat dibanting dan mudah pecah. Karena jika marah biasanya inginnya melempar dan membanting sesuatu yang berada di dekat kita.

Jika rasa amarah sudah benar-benar di ubun-ubun, segeralah lari ke kamar mandi. Benamkan kepala bapak ibu ke dalam bak mandi, dan berteriaklah sekeras saat mulut masih di dalam air, sehingga teriakan itu tidak terdengar oleh orang lain.

Setelah emosi mereda, dekati anak-anak. Peluk mereka. Tatap matanya dalam-dalam. Hapus airmatanya. Usap lembut kepalanya.

Berlapangdadalah untuk saling maaf memaafkan, biar hati kita dan anak-anak kembali menjadi hati yang lembut. Nyatakan dengan ucapan yang santun dan penuh kasih sayang.

Minggu, 07 November 2010

12 + 2 Gaya Pengasuhan Negatif

Oleh. Indah Trisetyawati Nur, S.Psi.
--Founder Sekolah Alam IT Auliya Kendal--

Sungguh saya merasa sangat terbantu saat diberi tahu tentang 12 (duabelas) gaya popular komunikasi yang menurut survey dan penelitian adalah penghalang komunikasi dengan anak. Lebih dari itu,12 gaya popular ini adalah biang keladi kehancuran konsep diri seorang anak.

Setiap manusia, tanpa terkecuali perlu merasakan 5 (lima) hal dari lingkungan sekitarnya untuk dapat merasa aman dan bahagia dalam hidup, yaitu merasa dikenali, didengar, diterima, dimengerti dan dihargai. Secara sadar saya segera mengangguk setuju saat diberi tahu harus berusaha membuat anak saya merasakan lima hal tersebut.

Orangtua mana sih, yang tidak mau mengenali, mendengar, menerima, mengerti, dan menghargai anaknya sendiri. Sayangnya, tidak ada ”Sekolah Orangtua” dimana kita diberi tahu tentang bagaimana caranya agar anak-anak merasakan itu semua. Sering kali kita berfikir sudah memberikan yang terbaik kepada buah hati kita, tapi ternyata mereka tidak bisa merasakan apa-apa yang telah diberikan orangtuanya.

Saya sendiri, alih-alih mencari cara membuat anak-anak merasakan lima hal di atas. Saya malah lebih sering meniadakan perasaan mereka dan menanamkan ranjau-ranjau perasaan melalui 12 gaya pengasuhan yang tanpa sadar, besar kemungkinan juga dilakukan oleh para pembaca.

Meliputi apa saja 12 gaya pengasuhan yang tidak tepat itu?Mari kita simak sama-sama.

1. Memberi cap atau label buruk.
Orangtua ingin memberitahukan kepada anak tentang kekurangan anak supaya dia berubah, karena komunikasinya negatif jadinya anak merasa seperti yang disangkakan orang lain.

Sekadar contoh, mbak Syifa minum menggunakan gelas beling, kemudian gelas itu pecah. Disadari atau tidak saya langsung berkomentar: ”Kamu sih ceroboh! Makanya kalau minum pakai gelas plastik saja.”

Ucapan saya tersebut di telinga Syifa terdengar sebagai simpulan bahwa dirinya adalah anak yang ceroboh. Padahal hanya kurang hati-hati saja. Lagian, bukankah di dunia ini tidak ada yang abadi? Manusia saja bisa mati, begitu pula gelas pun bisa pecah.

2. Membanding-bandingkan
Orangtua ingin memotivasi anak dengan memberikan contoh orang lain. Tapi apa yang di rasa anak? justru anak merasa orang tua pilih kasih dan dirinya lebih jelek.Misal: ”Tuh lihat adikmu, masih kecil sudah bisa berbagi, kamu kok susah sekali?” Padahal setiap anak adalah unik, bisa jadi si kakak susah berbagi tapi dia punya kelebihan lain. Misalnya berupa sikap bertanggung jawab.

3. Menyalahkan
Anak-anak biasanya cenderung ingin melakukan segala sesuatu sendiri. Dan orangtua, karena ingin anaknya melakukan dengan baik dan benar sering berusaha membantu agar anak tidak melakukan kesalahan. Tapi kemudian apa yang terjadi? Justru anak akan merasa tidak pernah melakukan sesuatu secara baik dan benar. Semua yang dilakukannya sepertinya sudah pasti salah semua.

Sekadar contoh : Seorang anak bernama Syifa mau membuat susu sendiri. Dan air yang digunakan tumpah. Biasanya secara spontan, tanpa sadar kita akan berkomentar: Tuh kan tumpah, Ibu bilang tunggu ya tunggu. Jangan bikin sendiri. Huuh!

4. Memerintah
Kebanyakan dari kita, para orangtua berusaha mengendalikan situasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat. Membuat anak-anak tidak punya pilihan, selain harus patuh. Misalnya buah cinta bapak ibu masih saja asyik dengan mainannya padahal besok ada jadwal tes di sekolah. Serta merta kita langsung pasang perintah : Cepat mulai belajar! Besok kan kamu tes!!

5. Mengancam
Tanpa kita sadari, cara berkata dan bersikap terhadap anak-anak tidak jarang lebih nampak sebagai ancaman ketimbang bentuk bentuk kasih sayang. Maksud orangtua agar anak-anak nurut atau patuh dengan cepat. Kenyataannya apa yang terjadi? Justru mereka sering merasa cemas atau takut untuk alasan yang tidak jelas.

Contoh—ini yang lazim terjadi—anak kita tidak mau makan keluarlah kata-kata: ”Awas ya kalau Adik tidak makan, Mama panggilin pak polisi!! Atau kata-kata seperti ini: ”Ayo, habiskan makanannya, kalau tidak habis nanti ayamnya mati lho!!

6. MembohongiMaksud kita sebagai orangtua ingin menyelesaikan masalah dengan gampang.tetapi apa yang dirasakan anak? Mereka merasa orangtua atau dewasa tidak dapat dipercaya. Misalnya anak kita sedang bermain dengan teman-temannya. Nah, pada saat main itu mereka berebut. Mendapati kejadian itu biasanya kita langsung berkomentar : ”Eh, jangan begitu. Ayo balikin mainan Ahmad, nanti kamu ibu belikan yang banyak di toko! Dan ternyata janji itu tidak ditepati. Anak-anakpun akan menilai kalau orangtuanya telah berbohong.

7. Meremehkan
Gaya pengasuhan ketujuh ini gambarannya seperti ini: orangtua menunjukkan ketidakmampuan anak, dan ingin menunjukkan bahwa orangtua lebih tahu atau benar. Tapi hal hal itu justru akan mejadikan anak merasa tidak berharga dan tidak mampu melakukan apapun. Misalnya ketika kita menemani belajar anak, ada pertanyaan perkalian yang tidak bisa dijawab terlontar omongan kita: ”Masa perkalian mudah seperti saja tidak bisa. Kamu kan sudah kelas empat, gimana sih!

8. Menasehati dengan Ceramah
Inginnya orangtua anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk.tapi lain persepsi anak mereka menilai orangtua terlalu bawel dan sok tahu,sehingga mereka bosen. Sebagai contoh, simak kalimat berikut ini : “Udah tahu mau ujian nasional bukannya belajar ee...malah main terus, tahu sendir kan akibatnya. Nilai matematikamu jadi jelek. Lain kali latihan soal yang buanyak!!!

9. Mengkritik
Maksudnya orangtua ingin anaknya memperbaiki kesalahan dan meningkatan kemampuan dirinya,tetapi justru anak merasa selalu serba kurang atau salah di mata orangtua. Misalnya dengan kata-kata seperti ini : “Lukisanmu lumayan bagus, tapi sayang warnanya tidak sesuai dengan aslinya.” Atau ucapan seperti ini : Cerita bahasa inggrismu lumayan bagus, sayangnya banyak pengulangan kata di tiap paragrafnya.

10. Menghibur
Keinginan orangtua agar anaknya tidak merasa sedih dan kecewa, dan supaya senang terus, membuat orangtua terlalu over protektif. Akibatnya anak-anak jadi terbiasa lari dari masalah. Sulit menerima kenyataan yang ada karena ada orangtua yang selalu memperbaiki kenyataan. Satu contoh sederhana: ketika anak main bareng dengan temannya dan menangis.orangtua selalu menghibur dengan perkataan: ”Ya sudah jangan dipikirin, dia itu memang begitu anaknya. Nanti juga baik lagi. Nanti ibu yang akan bicara ke mamanya.”

11. Menganalisa
Sebenarnya orangtua hanya mencoba menduga penyebab positif atau negatif anak ketika terlibat suatu masalah. Lain kali agar bisa mencegah, jika masalah yang sama terulang kembali. Tapi lantaran cara penyampaiannya tidak pas, justru anak-anak akan menilai orangtuanya sok pintar. Misalnya ketika anak ada masalah dengan gurunya, orangtua hanya mencoba menganalisa dengan memberi komentar seperti ini: ”Mungkin seharusnya kamu tidak bersikap begitu sama bu guru. Beliau kesindir kali. Jadinya kamu gak kepilih jadi ketua, padahal kamu kan anak yang pintar.”

12. Menyindir
Sindiran dilakukan biasanya dengan membalik pernyataan. Semula orangtua bermaksud ingin memotivasi dan mengingatkan buah hatinya agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Tapi kemudian terjadi justru sebaliknya. Anak jadi sakit hati karena tersindir. Ucapan sindiran itu, misalnya seperti ini: ”Kemarin ada yang janji mau ke pasar, kok sampai siang begini belum jalan juga. Jam segini mau ke pasar, dapat apa?! Abis bangunnya kepagian see!

***

Selain keduabelas gaya popular komunikasi buruk pada anak di atas ada dua tambahan lagi. Yaitu:

1. Mengabaikan
Jika kita merasa tidak setuju dengan anak seringkali kita tidak mau mendengar apapun yang di ungkap anak, atau bisa juga kita mengisolasi anak dalam ruang tertutup atau di kamar mandi untuk waktu terlalu lama sebagai hukuman.

2. Menyakiti Fisik
Karena sudah tidak sabar lagi, orangtua terkadang memukul atau mencubit anaknya. Dan yang demikian dinilai banyak orangtua tidak apa-apa. Karena tidak akan membuat fisik anak-anak tersakiti. Orangtua pun merasa nyaman karena anak-anak pasti tidak akan berani membalas.

Benar begitu? Salah besar bapak ibu. Anak-anak fisiknya tidak akan sakit, tapi yang akan terasa sakit adalah perasaan mereka. Hati mereka luka. Dan besar kemungkinan hal tersebut akan berubah menjadi dendam, menjadi ingatan bawah sadar. Dan akan terus teringat hingga anak-anak dewasa bahkan bisa jadi hingga tua. Jika mereka tidak bisa berdamai dengan luka itu.

***

Salah satu kunci berkomunikasi dengan anak adalah terletak pada bagaimana cara berkomunikasi bukan isi perkataan. Seringkali tanpa kita sadari nada ucapan kita diterima anak-anak sebagai bentuk pelabelan, membanding-bandingkan, menyalahkan, memerintah, membohongi, mengancam, menceramahi, menganalisa, mengkritik dan menyindir. Sama sekali bukan isi pesannya.

Tapi ternyata mengubah gaya pengasuhan kita tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus terus belajar. Hati dilembutkan, dan otak dilenturkan. Sentuhlah anak-anak kita dengan cinta. Maka mereka akan tumbuh dengan baik. Fisik dan jiwanya.

Bisa jadi salah satu sebab mengapa sebagian besar dari kita sering mempraktikkan gaya komunikasi buruk di atas adalah karena kita pernah mengalaminya. Sehingga menjadi ingatan bawah sadar. Lantas berkesimpulan cara berkomunikasi yang baik dengan anak-anak memang harus begitu. Jadi kita sepertinya hanya meneruskan matarantai cara dan persepsi yang ada saja. Butuh usaha yang optimal dan komitmen yang kuat, juga ilmu yang cukup untuk memutus mata rantai itu.