Jumat, 24 September 2010

Mendidik Anak Berkualitas Da’i

Oleh. Siti Jazimah
—ibu tiga putra, menetap di Gringsing, Batang—


“Wah, kalau sudah di rumah Mbahnya, susah payah lagi saya harus membangun tradisi kedisplinan dari awal.”

“Nenek kakeknya terlalu memanjakan. Makanya, saya batasi dia bertemu mereka. Kalau menginap di sana juga saya larang untuk lama-lama.”

Pernahkah mendengar ungkapan sejenis itu atau justru Anda pernah mengeluarkan ungkapan tersebut?

Seorang teman bercerita tentang anaknya yang setiap kali ngambek mengancam mau kabur ke tempat neneknya. Lari ke luar rumah dan menyetop kendaraan yang lewat. Ceritanya, dulu ketika si anak masih kecil, teman saya itu masih jadi satu dengan orangtuanya. “Neneknya memang sangat memanjakan dia, Mbak. Jadinya dia sekarang seperti itu,” curhatnya.

Siapakah nenek dan kakek? Mereka adalah orangtua kita. Yang artinya, bisa jadinya kita sekarang—seperti ini (dengan segala persepsi positif)—adalah berkat jasa mereka. Lalu, bagaimana bisa dengan mudah kita menyalahkan mereka? Bagaimana bisa kita mencap mereka telah ’merusak hasil didikan kita’?

Tugas nenek dan kakek adalah memanjakan. Tugas mendidik ada pada orangtua. Bukankah itu yang dicontohkan Rasulullah? Beliau rela jadi kuda untuk cucunya. Beliau rela ditunggangi saat sholat. Beliau melarang Fatimah memarahi Hasan dan Husain.

Maka, bila baru dimanjakan neneknya saja ajaran kita sudah tidak berlaku lagi, maka sesungguhnya ada dua kemungkinan. Satu, kita kurang kredibel. Dua, pola pendidikan kepada anak masih perlu diperbaiki. Demikian yang saya sarikan dari penjelasan Ustadz Fauzil Adhim dalam sebuah seminar parenting.

Jika cara mendidik anak yang kita lakukan sudah benar, bukan mustahil, anak kita yang akan menerangkan pada nenek dan kakeknya tentang apa-apa yang sudah kita ajarkan.

Misal, nenek memberi makanan atau minuman instan yang kita tahu ada banyak bahan berbahaya di sana, maka si anak bisa menerangkan, ”Nek, ini bukan makanan sehat. Ini mengandung pemanis buatan, ini ada MSG-nya. Bahaya, Nek.”

Atau suatu hari nenek bilang, ”Kalau capek nggak belajar nggak papa. Nggak berangkat ngaji nggak papa.” Si anak justru akan menjawab sopan, ”Tapi aku mau belajar dan ngaji, Nek. Aku kan ingin disayang Allah. Aku kan mau masuk surga.”

Kurang lebih demikian.
Nenek dan kakek bukan ancaman berbahaya. Tantangan yang harus dihadapi anak-anak kita ke depan, jauh lebih besar. Nenek dan kakek, yang notabene orangtua kita, kita telah meyakini kebaikannya—dari sisi nilai-nilai kebenaran. Maka, bila berhadapan dengan ’pola manja’ kakek nenek saja kita sudah kewalahan, pola didik menjadi berantakan, bagaimana nantinya anak bisa eksis dan selamat dalam melawan arus negatif pergaulan? Bagaimana anak bisa mewarnai dan bukan malah terwarnai oleh lingkungan dan atau teman-temannya?

Jadi, inilah yang harus kita siapkan. Inilah yang menjadi tugas dan jihad kita sepanjang hayat. Mendidik anak berkualitas da’i. Yang sanggup menempa diri untuk konsisten dalam kebaikan, kebenaran dan perjuangan, di mana saja dan kapan saja, dan sanggup pula mengajak orang kepada jalan yang diyakini.

Wallahu a’lam.

1 komentar:

pgtkitauliya mengatakan...

wah kl gitu perlu di adakan smart parenting for nenek dan kakek xixixixi