Kamis, 04 November 2010

Anakku, Guruku

Oleh. Agus M. Irkham

Saat seorang akan menjadi ayah untuk pertama kalinya, munculnya perasaan gamang, cemas, dan kuatir seringkali tidak bisa dihindari. Ada begitu banyak kata tanya berkelibatan di benak: Apakah aku bisa mendidik anakku? Apakah aku bisa bersabar? Bagaimana nantinya kalau ternyata aku tidak dapat memenuhi harapan, keinginan, dan cita-cita anakku? Apa yang bakal terjadi nanti jika ternyata aku tidak pandai menahan amarah? Dan berderet pertanyaan lainnya. Baik yang bersifat teknis maupun psikologis.

Ekspresi paling tepat saat mendapati diri dipenuhi dengan perasaan-perasaan kuatir seperti di atas adalah mengadu pada Allah: ”Ya Allah, saya mengakui bahwa hari ini saya masih sering diliputi perasaan cemas dan kuatir jika nanti anakku lahir, dan bertumbuh, ternyata aku tidak bisa menjadi ayah yang baik. Karena itu Ya Allah, aku pasrah dan ikhlasan kekuatiranku itu pada—Mu.”

Berdasarkan kejadian yang saya alami, keikhlasan dan kepasrahan tersebut membuat saya merasa enteng ketika menjalani jelujur waktu kehidupan. Dan tanpa sadar, Allah telah menghadirkan guru buat saya, agar saya terus memperbaiki diri, agar mampu menjadi ayah yang baik untuk para buah hati saya.

Sosok guru itu tak lain tak bukan anak-anak kita sendiri. Mereka akan mengajari kita tentang arti penting menjalani hidup dengan penuh rasa optimisme, kegembiraan, keikhlasan, kejujuran, kepasrahan pada Allah, keterbukaan terhadap pengalaman baru, baik sangka, kebermaafan, dan nilai-nilai kesalehan lainnya.

Pernah suatu hari saya membeli buku berjudul Quantum Ikhlas. Sampul dan kualitas cetakan buku itu begitu istimewa, tebal, halus, dan wangi hingga sering saya elus-elus dan ciumi. Saya, ketika memegangnya sangat hati-hati, jangan sampai lecek apalagi terlipat. Belum genap satu minggu usia buku itu saya miliki, buku itu dilecek-lecek anak pertama saya, Aulia yang berusia belum genap tiga tahun. Seketika ingin rasanya saya marah.

Tapi buru-buru saya ingat, buku itu kan mengajarkan keikhlasan, mengapa saya justru marah karena buku yang mengajarkan untuk tidak marah? Mengapa saya tidak ikhlas dengan perlakuan anak saya?

Rupa-rupanya Allah telah menghadirkan anak saya sebagai perantara Allah menagih saya, sudah sejauh mana praktik dari ilmu tentang keikhlasan yang saya pelajari dan peroleh dari buku Quantum Ikhlas itu.

Kejadian lain, berlangsung saat Syawal 2008. Sebelumnya ketika tujuh hari menjelang Ramadhan berakhir, saya agak intensif mendaras ilmu agama. Salah satunya tentang kesadaran akan sifat wahdaniyah Allah: satu dalam sifat, perbuatan, dan eksistensi—Nya.

Secara mudah sifat wahdaniyah Allah dapat dimaknai bahwa sejatinya yang selain Allah itu tidak ada. Yang ada hanya Allah. Maka yang selain Allah sifatnya pasti fana (rusak). Nah, berkaitan dengan ini, pertengahan ramadhan saya membeli MP3 Player. Namun saya baru menggunakannya saat hari lebaran (Syawal). Anak pertama saya, Aulia ikut-ikutan ingin mendengarkan suaranya yang sebelumnya telah saya rekam menggunakan MP3 Player tersebut.

Hanya saja karena terlalu bersemangat, ia menarik earphone yang tengah menempel di telinga saya dengan keras. Kabel earphone pun putus, rusak. Ingin rasanya saya marah saat itu juga. Tapi seketika saya teringat tentang sifat wahdaniyah Allah. Segala benda yang ada di alam ini pasti rusak. Dan rusaknya benda-benda itu, termasuk earphone justru membuktikan sifat wujud/keberadaan Allah.

Aulia telah “memaksa” saya untuk meningkatkan pemahaman tentang sifat wujud Allah, dari yang semula ilmu, menjadi keyakinan-kebenaran. Mempersaksikan atas absolutnya sifat eksistensi Allah. Satu lagi rahasia kehidupan terkuak: Allah menghadirkan anak-anak untuk menjadi guru, pendidik buat para orangtuanya.

Maka sejak saat itu, setiap pagi, saya menyapa anak-anak, dengan ucapan: “Anak-anakku, pelajaran apa yang akan kalian berikan pada Ayah hari ini?” ♦

*)untuk pertama kali, kolom ini termuat di Majalah Ummi

Merasakan Menjadi Ibu Rumahtangga

Oleh. agus m. irkham
--pendidik di Sekolah Alam IT Auliya--

Meskipun ada di antara Anda yang jago berbahasa Jepang, saya berani jamin tidak bakal ada yang tahu arti kata itu. Lantaran “kobamonak” memang bukan kata atau istilah dari bahasa jepang, tapi sebuah singkatan. Singkatan dari “komunitas bapak momong anak.” Istilah dan ajakan itu datang dari salah satu kolega saya, yang memutuskan diri keluar dari tempat kerja, ketika anak pertamanya lahir.

Keputusan sulit itu ia ambil pertimbangannya agar dapat membersamai buah hatinya. Membersamai anak ia sebut sebagai investasi termahal di dunia. Ia beralasan terlalu besar ongkos sosial yang harus ditanggung jika pengasuhan anak harus diserahkan pada babysitter.

Jauh sebelum ajakan menggagas “kobamonak” dari kolega saya itu, saya pernah melakoni hidup sebagai bapak rumah tangga. Beruntung saya punya usaha yang bisa saya gerakkan dari rumah. Sehingga meskipun ’nganggur’, kepul dapur tetap teratur.

Saya melakukan hampir semua pekerjaan yang kebanyakan orang menggolongkan pekerjaan itu tidak lazim dilakukan laki-laki (suami). Menggendong anak menyusuri jalan-jalan kampung hingga anak tertidur, membuatkan air minum dot, memandikan, membersihkan kotoran bab, pipis, muntahan, mengenakan pakaian anak, menyisiri rambut. Tak terkecuali membereskan pekerjaan kerumahtanggaan seperti memasak, menyapu halaman, mencuci piring dan pakaian, mengepel, dan merebus air. Hanya tiga yang tidak saya lakukan, yaitu, mengandung, melahirkan dan menyusui anak.

Saya termasuk yang percaya dengan simpulan bahwa empati seorang suami terhadap istrinya tidak akan pernah benar-benar muncul, sampai si suami berada dalam posisi si istri dan merasakan konsekuensi dari posisi tersebut. Itu sebab ada betulnya, untuk mendidik para suami agar tidak egois, sekali-kali, suami ditinggal di rumah bersama anak-anak, tanpa pembantu, harus mengurus anak dan memberesi berbagai macam pekerjaan kerumahtanggaan.

Melakoni hidup sebagai bapak rumah tangga, saya jadi sadar bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah profesi. Dan tidak bisa disebut dengan ”hanya” sebagai ibu rumah tangga. Ia perlu ilmu dan harus diperankan dengan penuh perhatian dan profesionalisme. Tidak percaya? Coba Anda cermati mekarnya perkembangan buku bertema parenting dan maraknya berbagai workshop parenting. Dua temuan itu bisa menjadi sedikit bukti betapa menjadi orangtua itu butuh ilmu.

Dan yang tak kalah penting, menjadi bapak rumah tangga telah membawa saya pada satu titik simpul: membesarkan, mendidik, dan menemani anak-anak bertumbuh, itu sungguh-sungguh menggairahkan. Ada saja kejutan-kejutan baru yang tiap hari saya dapatkan.♦