Rabu, 10 November 2010

Agar Marah tidak Meledak

:: agus m. irkham 
 --dicuplik dari salam news edisi oktover-november 2010--

Namanya anak-anak, tentu tidak selamanya mereka berlaku nice. Kadang ada saja aktivitas atau perilaku mereka yang membuat kita, sebagai orangtuanya tersulut amarah. Misalnya rengekan ingin segera dibuatkan minum. Atau tangisan lantaran permintaan tidak segera dipenuhi atau sebab lainnya. Pada saat marah mungkin merasa puas, tapi pasti bapak ibu akan menyesal ketika dalam kondisi normal (santai).

Jadi amarah sebenarnya hanya luapan emosi sesaat. Karena itu, kita harus betul-betul waspada terhadap 2-3 detik pertama saat akan marah.  Jika di waktu yang sangat pendek tersebut kita bisa mengendalikan emosi, maka kemarahan kita dapat dikendalikan. Sehingga akibat negatif akibat kemarahan (bisa berupa teriakan, pukulan, atau lemparan) tersebut dapat dikurangi.

Berikut adalah beberapa tips tentang bagaimana mengelola rasa marah sehingga tidak sampai meledak!

Jika saat marah dalam kondisi berdiri, segera duduk. Jika masih marah, segera tiduran. Jika tetap marah, segera ambil air wudhu. Jika hawa amarah masih memanas segera sholat mutlak dua rakaat.

Untuk sementara hindari sumber amarah, bisa dengan menyingkir sementara ke kamar, melakukan kegiatan fisik (menyapu, lari-lari, atau melompat-lompat ke atas).

Saat rasa amarah memuncak berusahalah untuk sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Karena bisa melukai perasaan anak-anak. Dan bapak ibu tidak menyadari—karena sedang emosi, kata-kata yang keluar dari mulut tidak terkontrol.

Hindari benda-benda yang dapat dibanting dan mudah pecah. Karena jika marah biasanya inginnya melempar dan membanting sesuatu yang berada di dekat kita.

Jika rasa amarah sudah benar-benar di ubun-ubun, segeralah lari ke kamar mandi. Benamkan kepala bapak ibu ke dalam bak mandi, dan berteriaklah sekeras saat mulut masih di dalam air, sehingga teriakan itu tidak terdengar oleh orang lain.

Setelah emosi mereda, dekati anak-anak. Peluk mereka. Tatap matanya dalam-dalam. Hapus airmatanya. Usap lembut kepalanya.

Berlapangdadalah untuk saling maaf memaafkan, biar hati kita dan anak-anak kembali menjadi hati yang lembut. Nyatakan dengan ucapan yang santun dan penuh kasih sayang.

Minggu, 07 November 2010

12 + 2 Gaya Pengasuhan Negatif

Oleh. Indah Trisetyawati Nur, S.Psi.
--Founder Sekolah Alam IT Auliya Kendal--

Sungguh saya merasa sangat terbantu saat diberi tahu tentang 12 (duabelas) gaya popular komunikasi yang menurut survey dan penelitian adalah penghalang komunikasi dengan anak. Lebih dari itu,12 gaya popular ini adalah biang keladi kehancuran konsep diri seorang anak.

Setiap manusia, tanpa terkecuali perlu merasakan 5 (lima) hal dari lingkungan sekitarnya untuk dapat merasa aman dan bahagia dalam hidup, yaitu merasa dikenali, didengar, diterima, dimengerti dan dihargai. Secara sadar saya segera mengangguk setuju saat diberi tahu harus berusaha membuat anak saya merasakan lima hal tersebut.

Orangtua mana sih, yang tidak mau mengenali, mendengar, menerima, mengerti, dan menghargai anaknya sendiri. Sayangnya, tidak ada ”Sekolah Orangtua” dimana kita diberi tahu tentang bagaimana caranya agar anak-anak merasakan itu semua. Sering kali kita berfikir sudah memberikan yang terbaik kepada buah hati kita, tapi ternyata mereka tidak bisa merasakan apa-apa yang telah diberikan orangtuanya.

Saya sendiri, alih-alih mencari cara membuat anak-anak merasakan lima hal di atas. Saya malah lebih sering meniadakan perasaan mereka dan menanamkan ranjau-ranjau perasaan melalui 12 gaya pengasuhan yang tanpa sadar, besar kemungkinan juga dilakukan oleh para pembaca.

Meliputi apa saja 12 gaya pengasuhan yang tidak tepat itu?Mari kita simak sama-sama.

1. Memberi cap atau label buruk.
Orangtua ingin memberitahukan kepada anak tentang kekurangan anak supaya dia berubah, karena komunikasinya negatif jadinya anak merasa seperti yang disangkakan orang lain.

Sekadar contoh, mbak Syifa minum menggunakan gelas beling, kemudian gelas itu pecah. Disadari atau tidak saya langsung berkomentar: ”Kamu sih ceroboh! Makanya kalau minum pakai gelas plastik saja.”

Ucapan saya tersebut di telinga Syifa terdengar sebagai simpulan bahwa dirinya adalah anak yang ceroboh. Padahal hanya kurang hati-hati saja. Lagian, bukankah di dunia ini tidak ada yang abadi? Manusia saja bisa mati, begitu pula gelas pun bisa pecah.

2. Membanding-bandingkan
Orangtua ingin memotivasi anak dengan memberikan contoh orang lain. Tapi apa yang di rasa anak? justru anak merasa orang tua pilih kasih dan dirinya lebih jelek.Misal: ”Tuh lihat adikmu, masih kecil sudah bisa berbagi, kamu kok susah sekali?” Padahal setiap anak adalah unik, bisa jadi si kakak susah berbagi tapi dia punya kelebihan lain. Misalnya berupa sikap bertanggung jawab.

3. Menyalahkan
Anak-anak biasanya cenderung ingin melakukan segala sesuatu sendiri. Dan orangtua, karena ingin anaknya melakukan dengan baik dan benar sering berusaha membantu agar anak tidak melakukan kesalahan. Tapi kemudian apa yang terjadi? Justru anak akan merasa tidak pernah melakukan sesuatu secara baik dan benar. Semua yang dilakukannya sepertinya sudah pasti salah semua.

Sekadar contoh : Seorang anak bernama Syifa mau membuat susu sendiri. Dan air yang digunakan tumpah. Biasanya secara spontan, tanpa sadar kita akan berkomentar: Tuh kan tumpah, Ibu bilang tunggu ya tunggu. Jangan bikin sendiri. Huuh!

4. Memerintah
Kebanyakan dari kita, para orangtua berusaha mengendalikan situasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat. Membuat anak-anak tidak punya pilihan, selain harus patuh. Misalnya buah cinta bapak ibu masih saja asyik dengan mainannya padahal besok ada jadwal tes di sekolah. Serta merta kita langsung pasang perintah : Cepat mulai belajar! Besok kan kamu tes!!

5. Mengancam
Tanpa kita sadari, cara berkata dan bersikap terhadap anak-anak tidak jarang lebih nampak sebagai ancaman ketimbang bentuk bentuk kasih sayang. Maksud orangtua agar anak-anak nurut atau patuh dengan cepat. Kenyataannya apa yang terjadi? Justru mereka sering merasa cemas atau takut untuk alasan yang tidak jelas.

Contoh—ini yang lazim terjadi—anak kita tidak mau makan keluarlah kata-kata: ”Awas ya kalau Adik tidak makan, Mama panggilin pak polisi!! Atau kata-kata seperti ini: ”Ayo, habiskan makanannya, kalau tidak habis nanti ayamnya mati lho!!

6. MembohongiMaksud kita sebagai orangtua ingin menyelesaikan masalah dengan gampang.tetapi apa yang dirasakan anak? Mereka merasa orangtua atau dewasa tidak dapat dipercaya. Misalnya anak kita sedang bermain dengan teman-temannya. Nah, pada saat main itu mereka berebut. Mendapati kejadian itu biasanya kita langsung berkomentar : ”Eh, jangan begitu. Ayo balikin mainan Ahmad, nanti kamu ibu belikan yang banyak di toko! Dan ternyata janji itu tidak ditepati. Anak-anakpun akan menilai kalau orangtuanya telah berbohong.

7. Meremehkan
Gaya pengasuhan ketujuh ini gambarannya seperti ini: orangtua menunjukkan ketidakmampuan anak, dan ingin menunjukkan bahwa orangtua lebih tahu atau benar. Tapi hal hal itu justru akan mejadikan anak merasa tidak berharga dan tidak mampu melakukan apapun. Misalnya ketika kita menemani belajar anak, ada pertanyaan perkalian yang tidak bisa dijawab terlontar omongan kita: ”Masa perkalian mudah seperti saja tidak bisa. Kamu kan sudah kelas empat, gimana sih!

8. Menasehati dengan Ceramah
Inginnya orangtua anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk.tapi lain persepsi anak mereka menilai orangtua terlalu bawel dan sok tahu,sehingga mereka bosen. Sebagai contoh, simak kalimat berikut ini : “Udah tahu mau ujian nasional bukannya belajar ee...malah main terus, tahu sendir kan akibatnya. Nilai matematikamu jadi jelek. Lain kali latihan soal yang buanyak!!!

9. Mengkritik
Maksudnya orangtua ingin anaknya memperbaiki kesalahan dan meningkatan kemampuan dirinya,tetapi justru anak merasa selalu serba kurang atau salah di mata orangtua. Misalnya dengan kata-kata seperti ini : “Lukisanmu lumayan bagus, tapi sayang warnanya tidak sesuai dengan aslinya.” Atau ucapan seperti ini : Cerita bahasa inggrismu lumayan bagus, sayangnya banyak pengulangan kata di tiap paragrafnya.

10. Menghibur
Keinginan orangtua agar anaknya tidak merasa sedih dan kecewa, dan supaya senang terus, membuat orangtua terlalu over protektif. Akibatnya anak-anak jadi terbiasa lari dari masalah. Sulit menerima kenyataan yang ada karena ada orangtua yang selalu memperbaiki kenyataan. Satu contoh sederhana: ketika anak main bareng dengan temannya dan menangis.orangtua selalu menghibur dengan perkataan: ”Ya sudah jangan dipikirin, dia itu memang begitu anaknya. Nanti juga baik lagi. Nanti ibu yang akan bicara ke mamanya.”

11. Menganalisa
Sebenarnya orangtua hanya mencoba menduga penyebab positif atau negatif anak ketika terlibat suatu masalah. Lain kali agar bisa mencegah, jika masalah yang sama terulang kembali. Tapi lantaran cara penyampaiannya tidak pas, justru anak-anak akan menilai orangtuanya sok pintar. Misalnya ketika anak ada masalah dengan gurunya, orangtua hanya mencoba menganalisa dengan memberi komentar seperti ini: ”Mungkin seharusnya kamu tidak bersikap begitu sama bu guru. Beliau kesindir kali. Jadinya kamu gak kepilih jadi ketua, padahal kamu kan anak yang pintar.”

12. Menyindir
Sindiran dilakukan biasanya dengan membalik pernyataan. Semula orangtua bermaksud ingin memotivasi dan mengingatkan buah hatinya agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Tapi kemudian terjadi justru sebaliknya. Anak jadi sakit hati karena tersindir. Ucapan sindiran itu, misalnya seperti ini: ”Kemarin ada yang janji mau ke pasar, kok sampai siang begini belum jalan juga. Jam segini mau ke pasar, dapat apa?! Abis bangunnya kepagian see!

***

Selain keduabelas gaya popular komunikasi buruk pada anak di atas ada dua tambahan lagi. Yaitu:

1. Mengabaikan
Jika kita merasa tidak setuju dengan anak seringkali kita tidak mau mendengar apapun yang di ungkap anak, atau bisa juga kita mengisolasi anak dalam ruang tertutup atau di kamar mandi untuk waktu terlalu lama sebagai hukuman.

2. Menyakiti Fisik
Karena sudah tidak sabar lagi, orangtua terkadang memukul atau mencubit anaknya. Dan yang demikian dinilai banyak orangtua tidak apa-apa. Karena tidak akan membuat fisik anak-anak tersakiti. Orangtua pun merasa nyaman karena anak-anak pasti tidak akan berani membalas.

Benar begitu? Salah besar bapak ibu. Anak-anak fisiknya tidak akan sakit, tapi yang akan terasa sakit adalah perasaan mereka. Hati mereka luka. Dan besar kemungkinan hal tersebut akan berubah menjadi dendam, menjadi ingatan bawah sadar. Dan akan terus teringat hingga anak-anak dewasa bahkan bisa jadi hingga tua. Jika mereka tidak bisa berdamai dengan luka itu.

***

Salah satu kunci berkomunikasi dengan anak adalah terletak pada bagaimana cara berkomunikasi bukan isi perkataan. Seringkali tanpa kita sadari nada ucapan kita diterima anak-anak sebagai bentuk pelabelan, membanding-bandingkan, menyalahkan, memerintah, membohongi, mengancam, menceramahi, menganalisa, mengkritik dan menyindir. Sama sekali bukan isi pesannya.

Tapi ternyata mengubah gaya pengasuhan kita tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus terus belajar. Hati dilembutkan, dan otak dilenturkan. Sentuhlah anak-anak kita dengan cinta. Maka mereka akan tumbuh dengan baik. Fisik dan jiwanya.

Bisa jadi salah satu sebab mengapa sebagian besar dari kita sering mempraktikkan gaya komunikasi buruk di atas adalah karena kita pernah mengalaminya. Sehingga menjadi ingatan bawah sadar. Lantas berkesimpulan cara berkomunikasi yang baik dengan anak-anak memang harus begitu. Jadi kita sepertinya hanya meneruskan matarantai cara dan persepsi yang ada saja. Butuh usaha yang optimal dan komitmen yang kuat, juga ilmu yang cukup untuk memutus mata rantai itu.