Sabtu, 01 Januari 2011

Lubang Hitam Sekolah Formal

:: sebagai bahan renungan, terutama untuk para guru ::

Judul Dunia Tanpa Sekolah
Penulis M. Izza Ahsin
Penerbit Read! (Kelompok Mizan Bandung)
Cetakan I April 2007
Jumlah Hlm 248 halaman

Pendidikan seringkali menjadi jawaban, ketika ada pertanyaan: strategi apa yang akan kita gunakan dalam melakukan ijtihad perubahan? Lewat pendidikan suatu perubahan akan digagas. Tapi, bagaimana perubahan itu akan dimulai jika ternyata pendidikan itu sendiri menjadi sesuatu yang harus dirombak?

Beragam wacana deschooling (tanpa sekolah) mengemuka. Buah dari lentur lunturnya sekolah—dianggap sebagai satu-satunya institusi pendidikan—yang memunyai kesaktian mencerdaskan. Berbagai istilah mencuat ke permukaan: Sekolah Kapitalisme yang Licik; Sekolah itu Candu; Macdonalisasi Pendidikan; Sekolah Saja tidak Cukup, Emoh Sekolah, Orang Miskin dilarang Sekolah, Selamat Tinggal Sekolah, Pendidikan Kaum Tertindas, dan terakhir, resensi yang tengah Anda eja: Dunia Tanpa Sekolah.

Berbeda dengan buku-buku bertema deschooling sebelumnya—ditulis oleh mereka yang tergolong dewasa, tua, pakar pendidikan, berisi segala sesuatu yang bersifat konsep teoritik-akademik, menyajikan praktik home schooling sebagai sesuatu yang sudah jadi—buku ini ditulis oleh seorang anak usia 15 tahun, pelaku home schooling. Berisi rekaman jejak perjalanan dari awal mencecap bangku sekolah, proses penemuan kesadaran bahwa pembelajaran itu ternyata sepanjang hayat bukan hanya sembilan tahun. Dan gong-nya adalah berlarik-larik tulisan tentang kisah perdebatan penulisnya dengan kedua orangtuanya, ketika meminta izin untuk keluar dari sekolah formal.

Hampir saja bahtera keluarga itu rekah terbelah karena perdebatan yang tak kunjung berkesudahan. Semuanya ditulis dengan gaya personal. Memudahkan pembaca untuk masuk, terlibat, terbawa ke dalam segala bentuk kemarahan, kemasgulan, kenelangsaan, sekaligus keceriaan dan kegilaan yang didedahkan penulisnya. Seperti yang tertulis di lembar ke empat puluh delapan dan kaver belakang buku:

“Sindrom sekolah mengalir ke seluruh peredaran darah dan menekan otakku. Merampok kebahagiaanku. Aku semakin tidak betah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghacur mental. Guru yang mempermalukan murid di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat mengajar, melainkan sebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.”


Tentu saja keputusan Izza untuk keluar sekolah formal dan menciptakan sekolahnya sendiri menuai riuh rasa keberatan. Jelas tindakan itu tergolong melawan arus, subversif! Tentangan dan tantangan datang terutama dari dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon, sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa.

Muhammad Izza Ahsin Sidqi, penulis buku ini, lahir pada 9 Maret 1991 di Salatiga. Sebuah kota kecil yang sejuk dan nyaman. Ayahnya, Drs. Mahfud guru Madrasah Aliyah, yang juga menjadi salah satu pendiri sekolah plus di Salatiga. Ia tergolong guru ”pemberontak” yang tidak puas dengan sistem pendidikan saat ini. Mendalami konsep pendidikan yang membebaskan.

Sedangkan ibunya, Siti Badriyatul Ahyani dikenal sebagai guru Taman Kanak-Kanak yang cerdas. Seorang sarjana pendidikan yang berulang kali memenangi lomba guru berprestasi tingkat nasional. Bahkan pernah hadir sebagai salah satu guru terpilih di Istana Negara dan menyalami presiden saat itu (Ibu Megawati).

Perjuangan Izza keluar dari sekolah dimulai dari meminta persetujuan kedua orangtuanya yang tergolong ”tercerahkan” itu. Tapi rupanya revolusioner dalam berfikir ternyata bukan jaminan revolusioner pula dalam bertindak. Si ayah marah. Marah se-marah-marahnya. Marah yang telah melampaui batas kewajaran. Marah karena anak pertamanya ingin keluar dari sekolah. Padahal, Izza keluar dari lembaga yang baru saja ia prihatinkan dan ragukan bisa membawa setiap siswanya menuju keberhasilan hidup. Ironi!

Permintaan keluar dari sekolah formal dijawab dengan larangan berkeinginan tidak akan bersekolah formal. Dan diminta agar menjalani hidup layaknya air mengalir. Harapanya berhasil dalam sekolah sekaligus menulis. Menyatakan diri tidak mau sekolah sama saja dengan ingin menanggung malu. Orang akan menganggap sombong, nakal, dan tak tahu diri! Tentu saja wejangan itu mental membentur tembok tebal keyakinan Izza. “Peperangan” antara anak beranak itu berakhir dengan kata yang meluncur dari mulut ayahnya, menikam sisi sensitif emosi Izza: ”Kalau kamu tidak bisa, ya, pergi saja! Jangan pernah kembali ke rumah ini!” (hal 30).

Jawaban yang diterima dari Ibunya pun bak pinang tak berbelah. Hingga memampukan Izza tega menorehkan tulisan getir nan satir seperti ini:

”Lomba guru berprestasi merupakan wujud nyata dari kepandaian ibuku dalam memahami anak. Tetapi kenapa ibu tidak bisa mengerti keinginanku untuk keluar dari pendidikan formal? Kenapa ibu menganggapku terlalu mengagungkan kemampuan menulis? Padahal, hal-hal seperti itu dianggap lazim dalam makalah-makalahnya. Apakah makalahnya itu dibuatnya tanpa pendalaman dan hanya memindahkan bahan-bahan dari buku-buku seperti Quantum, baik Learning maupun Teaching, Accelerated Learning, dan Delapan Kecerdasannya Howard Gardner, atau Humanisasi Pendidikan Freire yang biasa ibu praktikkan ke anak didiknya? Mengapa tidak langsung dipraktikkan kepada anaknya sendiri yang ingin belajar secara menyenangkan? (hal 36).

Keputusannya berhenti sekolah, tepat ketika ujian akhir kelulusan SMP hanya tinggal dua minggu, dan bercita-cita hanya menjadi penulis, menyebabkan ia dianggap sebagai remaja radikal, sekaligus aneh dan langka. Fenomenanya telah diliput beberapa surat kabar: Cempaka, Jawa Pos, Radar Semarang, Academia, Solo Pos, dan Seputar Indonesia. Buku yang telah selesai saya selami ini adalah buku pertamanya. Rencana berikutnya, dia telah memiliki proyek serial novel fantasi. Lewat keterangan ayahnya dalam pagina Tentang Penulis (hal 248), Izza berseloroh:

“Ketika teman-temanku lulus dari perguruan tinggi dengan membawa ijazah ke sana kemari untuk mencari pekerjaan, insya Allah aku sudah menyelesaikan karya terbesarku, tanpa haru susuah payah berhadapan dengan buku-buku yang tidak aku minati dan dosen-dosen yang tidak bermutu. Aku bahkan tidak perlu menghabiskan biaya berjuta-juta.”

Rahasia keberhasilan Izza ”memenangi” dialog nilai dengan kedua orangtuanya adalah gizi terbaik yang ditawarkan buku ini. Dan tentu saja nilai guna gizi itu dapat lebih Anda rasakan ketika Anda memamahnya langsung dari bukunya.

Darasan buku yang tengah Anda baca ini merupakan bagian pertama dari tiga buku seri Read, Write, dan Imagine. Tiga lema yang selama ini memberikan penulisnya kesempatan untuk belajar apa saja. Muara dari ketiga entry itu adalah: cita-cita untuk menyumbangkan hidupnya bagi kepentingan kemanusiaan.

Sedangkan jilid kedua dan ketiga, akan membahas proses penulisan Baru Usaha Pertama untuk Mengenal Diri serta hal-hal yang mengitarinya. Seperti home schooling hingga sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah, Salatiga.

Menaklik Dunia Tanpa Sekolah, jadi teringat ucapan Sarwono Kusumaadmadja ketika menjadi pembicara kunci di perhelatan Wold Book Day akhir April 2007 lalu: sekolah bisa membuat orang berhasil. Tapi juga bisa membuat orang ”terbunuh.”